kilas balik mandeling :

Langgam Bicara

Orang Mandailing sangat kuat memperlihatkan bahasa tubuh. Tidak semua hal yang penting harus diucapkan. Seringkali hal-hal yang penting itu tampil dalam bahasa tubuh, apakah itu dengan mimik, gerak anggota badan lainnya, maupun dengan diam sama sekali. Lawan bicaranya, pastilah tidak akan salah paham tentang apa yang disembunyikan itu. Orang Mandailing diajari untuk tidak serta merta memberi reaksi dalam berdialog. Jika seseorang sedang berbicara, maka ketika lawan bicaranya ingin memberi tanggapan, yang disebut terakhir ini memberi tanda-tanda dengan bahasa tubuh berupa isyarat kepada orang yang berbicara itu bahwa ia nanti akan memberi tanggapan. Apakah tanggapan yang akan disampaikan itu positif atau negatif, dapat diantisipasi oleh orang yang sedang berbicara tersebut. Begitu indahnya orang Mandailing berdialog, terasa suasana kasih sayang di dalam dialog itu. Sekeras apa pun dialog itu, setajam apapun kata-kata yang diucapkan, tak akan menimbulkan dendam kesumat.

Ciri khas langgam bicara orang Mandailing adalah pengucapan kata-kata yang berirama. Semua huruf yang tertulis diucapkan dengan jelas. Tetapi lebih daripada itu, yang paling menonjol adalah lafal huruf sengau secara sempurna. Huruf-huruf sengau, n, m, ng yang diucapkan orang Mandailing secara sempurna itu menimbulkan suatu gaung bagaikan multiplex stereo yang ditangkap oleh daun telinga, kemudian menggetarkan kulit selaput di dalam telinga.

Suara sengau itu seolah memiliki ruh yang dapat menggetarkan syaraf-syaraf. Ada getaran gaib yang membuatnya berkesan, kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf sengau itu sering terngiang-ngiang di telinga kita. Suara sengau seperti itu dapat merangsang suasana damai dan relaksasi baik bagi yang mendengar, terlebih bagi yang mengucapkannya. Gelombang suara itu dapat mengendurkan syaraf-syaraf. Sehingga tercipta kejernihan dalam mengelola cara kerja pikiran dan perasaan.

Ini merupakan karunia Allah yang sangat besar. Komunikasi dengan kata-kata berhuruf sengau itu menciptakan keakraban. Lafal seperti itu memiliki kekuatan kata-akata yang diucapkan oleh orang tua dalam membina anak-anaknya, dan ini pula yang merupakan kekuatan para guru, da’i, Tuan Syekh dan para agen pembaharuan di Mandailing. Langgam bicara orang Mandailing disebut lambok, langgam bicara Angkola dan Sipirok disebut laok dan langgam bicara Padang Lawas disebut purpur. Cobalah ucapkan kalimat di bawah ini, dengan langgam bicara Mandailing dan langgam bicara Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) dalam satu kalimat dengan dua langgam. Dua kalimat di bawah ini memberi getaran gendang telinga yang berbeda dan kesan yang berbeda pula.

Langgam Mandailing:
Ning tulangku na di Batangtoru i, pala amang tua ni nantulang na di Pagaran Singkam ma ompungku na di Gunungtua i.
Langgam ASPAL:
Nik tulakku na di Bataktoru i, pala amaktua ni nattulang na di Pagarat Sikkam ma oppunkku na di Gunuktua i.

Contoh bahasa dunia yang sangat kaya dengan huruf sengau adalah bahasa Prancis. Lafal kata-kata bahasa Prancis yang lembut dan merdu itu, diakui sebagai bahasa peradaban. Begitu besarnya peranan bahasa Prancis dalam pergaulan dunia, sehingga salah satu syarat untuk menjadi Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah fasih berbahasa Prancis.

Bahasa Al-Qur’an, bahasa Arab, lebih kaya lagi huruf sengau dan lagu kalimatnya. Saya berpendapat, bahwa tidak sedikit pengaruh bahasa Al-Qur’an dalam memperkaya dan memantapkan bunyi huruf-huruf sengau itu ke dalam lafal bahasa Mandailing. Karena setiap huruf bahasa Al-Qur’an itu mempunyai “hak suara” yang harus diucapkan secara jelas. Orang bertanya. kenapa hal ini tidak terjadi pada bahasa Minangkabau yang juga dikenal sangat kuat dipengaruhi agama Islam? Biarlah para filolog mencari jawabannya.

Ungkapan Tradisional Tentang Holong

Salah satu rahmat yang pertama diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi adalah rasa kasih sayang, khususnya kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, lebih khusus lagi rasa kasih sayang ibu kepada anak-anak yang dilahirkannya. Rasa kasih sayang ini, tidak hanya berlaku pada manusia, tetapi juga berlaku pada hewan, ialah rasa kasih sayang induk kepada anak-anaknya. Contohnya kita saksikan pada ayam, dan banyak hewan menyusui.

Rasa kasih sayang itu disebut holong dalam bahasa Mandailing Angkola. Banyak ungkapan tradisional Mandailing Angkola yang mengungkapkan rasa holong. Karena terbatasnya ruang dan waktu yang tersedia, saya hanya menyebutkan beberapa saja, ialah:
1. Songon siala na sampagul, rap tu ginjang rap tu toru. Muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu.
2. Sahata saoloan sapangambe sapanaili. Satahi dohot dongan maroban sonang pangarohai.
3. Muda sabara sabustak, asa salumpat saindege boti sapangambe sapanaili, hasonangan na so unjung mantak, baritana sai tarbege.
4. Muda manyuruk rap unduk, muda mangambur rap gas.
5.Lambok bulung ni eme, na lambok marluyun-luyun. Lambok lidung binege, ima dalan marhalalungun.
6.Tando batu ni pangkat, lomlom gorsing songon simbora. Tandona hita na sapokat, bulung botik mardai mera.
7.Holong do mangalap holong. Muda holong rohaniba di dongan, tauken holong ma roha ni dongan di iba. Harani i inda tola iba mantak patidahon holong ni roha i tu dongan, anso di hatihana muse manjagit iba hadengganan sian dongan.
8. Muda pahae simanggurak, pahulu sitipulon, antusanna muda nibaen na denggan tu dongan, laing na dengganma jagiton balosna.
9. Mata guru roha sisean. Umpama on nidok ma i tu halak anso sai ra ia maniru na denggan di pangalaho na niidana sian dongan.
10.Muda jongjong di na tigor, batu mamak di andora.
11.Pantun hangoluan, teas hamatean.
12.Patar songon indahan di balanga.
13.Rukrek parau mambaen tu rapotna.
14.Sada do martoktok hite, sude halak markitehonsa.
15.Sada huat tu jolo dua huat tu pudi.
16.Sadao-dao ni obok-obok ujungna laing madabu tu tano.
17.Talu do gogo dibaen bisuk.
18.Tubu dingin-dingin di toru ni andomang. Horas tondi madingin, sian menek lopus matobang.

Masih banyak lagi ungkapan serupa yang menyatakan kasih sayang, seia sekata, kompak, saling menolong, saling melindungi, saling menasihati, terbuka, waspada, suka berguru, dinamik, berjiwa pelopor, tegar menghadapi tantangan apa pun juga, sopan, perbedaan pendapat justru mempererat hubungan manusiawi, berlomba-lomba berbuat kebajikan, masa lampau adalah bagian dari masa kini dan masa depan, maut adalah satu kemestian, kearifan (habisukon) adalah kekuatan sejati, berdoa selalu untuk mendapat hidup yang berkah, dst.
Judul makalah ini diambil dari ungkapan nomor 7 di atas, yang maknanya jangan bosan menebarkan kasih sayang, kasih sayang kepada orang lain akan menghasilkan kasih sayang pula. Karena itu jangan pernah berhenti berbuat kebaikan kepada orang lain, pada waktunya kita pun akan menerima kebaikan dari orang lain.

Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876) meningggalkan begitu banyak sajak dan beberapa cerpen yang bertema kasih sayang. Contohnya dapat kita baca di dalam kumpulan puisi dan prosanya yang terbit tahun 1872 berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, di antaranya berjudul: Ajar ni amangna di anakna na kehe tu sikola, Angkana dohot anggina, Di danak na mompas godang, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate, Amamate ni alak na lidang, Si Baroar, dan Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi.

Saya sudah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya dalam edisi dwi bahasa pada tahun 1976, 1987 dan 2002. Buku ini telah merangsang semangat kemajuan yang luar biasa. Orang-orang tua kita masih ingat bait-bait sajak karya Willem Iskander ini, walaupun terakhir kali mereka membacanya puluhan tahun yang lalu. Pesan-pesan Willem Iskander telah menjadi bagian dari perbendaharaan nasihat orang tua kepada anak-anak mereka. Willem Iskander membawa gagasan pembaharuan dengan metode holong mangalap holong.

Perantau Mandailing di Pasaman (Ken.Rabi jonggor)

Berabad sebelum keberadaan kaum Paderi di Sumatera Barat, orang Mandailing sudah bermukim di Pasaman. Salah satu periode orang Mandailing bermigrasi ke Pasaman adalah pada awal abad XVIII. Ketika itu terjadi pemberontakan tiga kerajaan Gunung Tua, Pidoli Lombang, Pidoli Dolok dan Pidoli Lombang, terhadap kekuasaan Baginda Mangaraja Enda, raja di raja Mandailing Godang. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh puteranya, ialah Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Raja-raja yang ditaklukkan itu kemudian eksodus dengan sebagian rakyatnya ke Pasaman. Mereka beranak pinak di sana.

Menurut H.T. Damsté, Kontrolir Distrik Opir di Pasaman (1898-1901) beberapa raja Mandailing hijrah ke Pasaman, di antaranya Raja Gumati Porang dari Pidoli Dolok yang hijrah ke Tambun Batu. Isterinya wafat di sana. Makamnya dikenal dengan nama Kuburan Batak (baca Mandailing). Raja Gumanti Porang kemudian mengajak orang-orang Mandailing di bawah pimpinan Raja Burinting Bosi, Raja Gunung Malea dan Raja Siputar, hijrah ke Dolok Joring yang sekarang dikenal sebagai daerah Sontang. Mereka menyatu dengan masyarakat Pasaman.
Dalam susunan masyarakat Pasaman ketika itu ada kelompok yang dikenal dengan nama Raja Nan Barampe’ atau dikenal juga dengan nama Anak Dalam Adat. Ada tiga orang raja-raja Mandailing di dalam jajaran fungsionaris masyarakat Pasaman Raja Nan Barampe’ itu yang memerintah di sana, ialah Raja Enda memerintah di Sitabu, Raja Ibata memerintah di Bandar, dan Raja Barayun memerintah di Saligawan. Setiap raja dibantu oleh empat kepala ripe sama seperti yang berlaku di Mandailing. Kepala ripe itu digelar Partua.

Raja Enda dari Sitabu dibantu oleh kepala ripe Pintu Sati, Ja Tambuli, Ja Gagar dan Ja Mangantar. Yang disebut terakhir ini adalah Partua di daerah itu. Ia berasal dari Simpang Lolo. Dusun Rabijonggol dan Baudo dipimpin oleh Partua Bagindo Bujang dan Sutan Marusin.
Raja Ibata dari Bandar dibantu kepala ripe Bagindo Arab, Ja Lelo, Pinto Lihin dan Malim Partamo. Yang disebut terakhir ini adalah juga Partua dari Tanjung Durian. Desa-desa kecil seperti Sibatutu, Poroman Ampolu dan Rantau Panjang merupakan wilayah kekuasaan Partua Ja Diatas. Kapala ripe di Saligawan adalah Ja Barani dan Ja Iro.

Raja Barayun dari Saligawan dibantu kepala-kepala ripe Ja Sinambar dari Poroman Kalumpang, Parmata Raja dari Lubuk Pesong, Lenggang Kuning dari Guo dan Ja Diatas dari Sibatutu (Bandar). Sedangkan Saligawan Gadang dipimpin oleh Partua Kondo Sutan.
Menurut Michiels, Gubernur Militer Pantai Barat Sumatera, penduduk inti Natal adalah orang Mandailing, sedangkan orang Melayu melulu menjadi penduduk pantai. Jadi daerah ini bukanlah daerah orang Melayu (niet tot het ware Maleisch gebied). Penduduk Pantai Barat Sumatera ketika itu berjumlah 852.980 jiwa, di antaranya 2.128 jiwa berdiam di Agam, sedangkan penduduk Mandailing Angkola adalah lima kali jumlah penduduk Agam (Michiels, 1851:21).

Mantan Asisten Residen Mandailing Angkola, A.P. Godon, anggota Indisch Genootschap menjelaskan di dalam rapat pleno Indisch Genootschap pada tanggal 27 Februari 1866, bahwa pendidikan agama Islam di Mandailing antara lain dengan membaca Al Qur’an sampai khatam. Godon mencatat istilah yang dipakai pada waktu itu dengan tamat koraän.

Godon memberikan penjelasan panjang lebar tentang wilayah, penduduk dan berbagai masalah sosial, ekonomi dan budaya di Pantai Barat Sumatera termasuk Mandailing Natal, yang bergunung-gunung dan tanahnya subur. Dalam rapat yang dipimpin oleh P.J. Bahiene itu berbicara antara lain: Godon, Van Cleef, Gevers Deynoot, Van Leer, Schill dan Van Soest. Laporan Godon yang panjang lebar dan komentar dari beberapa anggota Indisch Genootschap yang hadir dalam rapat itu, dimuat dalam Tijdschrift van Nederlandsch Indie (TNI) Nieuwe Serie; 4e Jaargang I (1866): 461-485.

Indisch Genootshap adalah organisasi Masyarakat Hindia Belanda atau dalam bahasa Inggris The Netherland Indies Society yang beranggotakan tokoh-tokoh mantan pejabat sipil dan militer di Hindia Belanda. Mereka memiliki pengalaman dan visi yang luas dan mendalam tentang wilayah itu. Para anggota organisasi ini membahas berbagai masalah yang terjadi di Hindia Belanda sebagai bahan studi dan masukan bagi pemerintah kolonial.

Berabad sebelum masa eksodus orang Mandailing ke Pasaman, agama Islam sudah dianut oleh orang Mandailing. Alam Tanah Mandailing dan alam Pasaman memiliki kesamaan. Sehingga, para migran itu tak merasa berada di rantau orang. Agama Islam yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin di Negeri Ulakan dan Syekh Abdul Fattah di Natal dan Mandailing secara perlahan memperkuat aqidah pemeluknya di kawasan itu. Agama Islam yang diajarkan dari rumah ke rumah, dari surau ke surau melalui pelajaran membaca Al-Qur’an oleh para guru, telah menjadikan agama Islam sebagai dasar filsafat hidup orang Mandailing di samping tradisinya.

Nilai budaya Mandailing antara lain berisi semangat membuka kampung. Kampung yang dibukanya itu, adalah kampung halamannya yang sejati. Mereka hidup damai di Pasaman. Lama kelamaan orang Mandailing berkiprah bukan saja sebagai petani dan pedagang, tetapi juga menjadi penganjur agama Islam. Mereka tampil sebagai guru agama, pengurus masjid, tuan kadi, mengurus zakat dan wakaf, menjadi imam dan bilal. Pokoknya mereka tampil di tengah-tengah masyarakatnya sendiri dan di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yang berdiam di Pasaman.
Yang menarik adalah peranan orang Mandailing di Pasaman berperan penting dalam menyebarkan Islam sebagai guru mengaji. Banyak guru-guru mengaji mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an di rumah-rumah para guru mengaji itu di mana anak-anak Mandailing dan Minangkabau belajar bersama. Sudah barang tentu bahasa Mandailing adalah bahasa pengantar. Dengan demikian, orang-orang Minangkabau di Pasaman fasih berbahasa Mandailing. Demikian juga orang Mandailing fasih berbahasa Minangkabau.

Orang Mandailing di Pasaman menganut Mazhab Syafi’i yang toleran pada tradisi. Ada orang yang memperdalam ilmu agamanya kepada para Tuan Syekh yang ada di banyak tempat. Ada pula yang menjadi pengikut Tariqat, bersuluk untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Begitulah agama Islam tersebar melalui dakwah yang damai, sejuk dan diikat oleh rasa holong.

Beberapa perguruan pun kelak muncul di beberapa tempat di Pasaman dan Mandailing. Perguruan yang paling besar adalah Madrasah Musthofawiyah di Purba Baru yang didirikan oleh Syekh Musthofa Husein pada tahun 1915. Madrasah ini merupakan warisan para ulama yang sangat besar peranannya dalam dakwah Islamiyah. Santrinya kini tidak kurang dari 8.000 orang yang datang dari berbagai penjuru Sumatera Utara, dan tentu saja juga dari Pasaman, bahkan dari Malaysia. Dua orang tokoh nasional, Nuddin Lubis dan Aminuddin Aziz Pulungan, adalah alumni madrasah ini.

Pemandangan yang menakjubkan dapat disaksikan pada menjelang subuh di Purba Baru, ketika ribuan santri berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Pemandangan seperti ini sukar dicari tandingannya di Sumatera Utara, bahkan mungkin di Sumatera. Kini ada puluhan pesantren di seluruh Mandailing, ditambah lagi dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Madina (STAIM) dan madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai tingkat Aliyah baik negeri maupun swasta.

Hubungan antar kerabat Mandailing di Pasaman dan di Mandailing tetap berlangsung melalui perjodohan. Pilihan pertama dalam mencari jodoh adalah beragama Islam dan sesama kerabat Mandailing baik yang berdiam turun temurun di Pasaman maupun yang berdiam di Mandailing. Perkawinan mangulai pangkal, ialah perkawinan di antara generasi ketiga dan seterusnya untuk melestarikan hubungan kekerabatan. Sehingga hubungan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah tetap dapat dilestarikan.

Perkawinan antar suku, antara orang Mandailing dengan orang Minangkabau pun kerap terjadi. Kedua belah pihak selalu memusyawarahkan adat mana yang dipakai. Kadang-kadang dipakai salah satu adat pernikahan, atau keduanya masing-masing di rumah kerabat Mandailing memakai adat Mandailing, sedangkan acara di rumah kerabat Minangkabau dilaksanakan pula adat Minangkabau. Begitulah terjadi akulturasi yang kuat yang direkat tali kekerabatan dan nilai-nilai Islam yang kuat (Naim, 1976).

Kerabat orang Mandailing yang berada di Mandailing banyak yang mengirimkan anak-anak mereka belajar agama Islam ke Pasaman. Demikian juga sebaliknya. Sehingga hubungan yang harmonis berjalan dengan baik.

Akulturasi tidak saja dalam perkawinan dan hubungan sosial lainnya, tetapi juga terjadi dalam bidang-bidang lain seperti pertukangan, kerajinan dan makanan. Para tukang rumah dan masjid orang Mandailing di Pasaman banyak membangun rumah dan masjid di Mandailing. Para tukang Mandailing itu bekerjasama dengan para tukang Minangkabau. Hasilnya adalah seni arsitektur rumah dan masjid di Mandailing sama dengan yang terdapat di Pasaman atau tempat lainnya di Sumatera Barat. Teknologi tepat guna juga diperoleh orang Mandailing dari perantau Mandailing di Semenanjung dan Pasaman, antara lain losung aek ialah kincir yang digerakkan dengan menggunakan pancuran air untuk mengangkat dan menjatuhkan alu-alu besar untuk menumbuk padi. Ada ungkapan terkenal tentang losung aek ini ialah:

Losung di Pidoli
Tumbuk salapan indaluna
Janjinta na sanoli
Tumbuk tu halak do laluna

Yang paling menarik adalah akulturasi dalam bidang masakan. Perantau Mandailing di Pasaman berabad sebelum keberadaan kaum Paderi sudah memperkenalkan berbagai masakan kepada kaum kerabatnya di Mandailing. Pada awalnya makanan khas itu mereka bawa sebagai oleh-oleh kepada kaum kerabat di kampung asalnya. Atau sebaliknya, kaum kerabat yang berkunjung ke Pasaman belajar memasak makanan khas itu, kemudian memperkenalkannya kepada kaum kerabat di Mandailing. Begitulah berlangsung berabad-abad. Makanan yang saya maksudkan itu adalah alame, lomang, karakoling, tape sipulut, gogok-godok dan rondang. Semula semua masakan ini disajikan pada hari-hari besar Islam, terutama pada hari raya Idul Fitri. Alame dimasak beberapa hari menjelang lebaran. Tetapi lomang dimasak sehari sebelum lebaran, itulah hari yang disebut sadari mangalomang. Biasanya para perantau sudah tiba di kampung paling lambat pada sadari mangalomang, karena keesokan harinya adalah 1 Syawal. Inilah saat-saat yang paling manis dalam kehidupan orang Mandailing.

Menarik sekali orang Mandailing kemudian mengembangkan makanan khas itu menjadi Toge Panyabungan, ialah campuran berbagai makanan lezat seperti tape, cendor dll. Orang yang pernah mencicipi semua makanan itu mengakui bahwa masakan yang dimasak oleh orang Mandailing jauh lebih lezat daripada masakan yang sama buatan Minangkabau. Mungkin, orang Mandailing memasak masakan itu bukan untuk dijual, tetapi untuk dinimati sendiri.

Persebaran orang Mandailing tidak hanya ke Pasaman, tetapi juga ke Barumun, bahkan ke daerah, Dalu-Dalu, Pasir Pangarayan, Rantau Binuang yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kampar, Riau, dan Lumut di Tapanuli Tengah. Banyak kampung di Barumun Sosa yang sama namanya dengan kampung-kampung di Mandailing yang penduduknya berbicara dengan langgam Mandailing, misalnya Panyabungan, Sinonoan, Siabu, Hutabargot, dll. Marga Mandailing pun terdapat di sana, misalnya Nasution dan Lubis.

Satu fakta sejarah memperlihatkan, kecenderungan pria ASPAL untuk mempersunting gadis Mandailing lebih kuat daripada kecenderungan pria Mandailing mempersunting gadis ASPAL. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan parbagas godang, kalangan raja-raja. Alasannya ialah, gadis Mandailing lebih lemah lembut, keibuan, lebih religius, lebih sabar, dan mungkin juga karena kecantikannya. Kecenderungan itu masih tetap ada, walaupun gadis Mandailing bukanlah pekerja keras di sawah dan kebun.
Menurut Godon, de Mandhelingsche vrouw is eene goede moeder, perempuan Mandailing adalah ibu yang baik (Godon, 1872:36 ; Harahap, 2004:213 ; 2007:167).

Saya menemukan, bahwa Poda Na Lima yang terkenal itu berasal dari nasihat-nasihat ibu Mandailing, ialah:
1.Paias rohamu.
2.Paias pamatangmu.
3.Paias parabitonmu.
4.Paias bagasmu.
5.Paias pakaranganmu.

Ini merupakan inti sari dakwah Islamiyah yang sangat bernas yang dilaksanakan secara damai, penuh rasa kasih sayang, dan sarat dengan ajaran agama Islam yang diawali dari rumah dalam kalangan keluarga batih. Poda Na Lima itu kemudian menjadi milik masyarakat, yang secara berkesinambungan disampaikan bukan saja di dalam rumah tangga, tetapi juga di dalam majelis adat. Poda Na Lima kemudian menjadi salah satu nasihat yang dimasyarakatkan oleh Pemerintah dengan menuliskannya pada papan-papan pengumuman. Bahkan di depan Pasanggrahan Kotanopan pernah dibangun satu tugu Poda Na Lima dalam bahasa dan aksara Mandailing.

Prof.Dr. H. Abdurrahman Ritonga, M.Pd. mengungkapkan bahwa dahulu, ada orang Sipirok datang ke Mandailing untuk menghadiri horja, pesta adat. Ia menyaksikan orang Mandailing menjalankan agama Islam dengan baik. Hal ini ia ceritakan kepada kaum kerabatnya tentang pengamalan ajaran Islam yang bagus di Mandailing itu. Orang Sipirok pun belajar agama Islam di Mandailing dan daerah lain. Menurutnya, cara beragama orang Sipirok tidak sebaik cara beragama orang Mandailing (Ritonga, 2006:238-242).

Ini merupakan bukti, bahwa orang Mandailing berdakwah dengan holong. Horja adalah puncak aktualisasi rasa holong yang diungkapkan dengan kata-kata dan perbuatan. Horja secara harfiah adalah kerja. Namun konsep secara hermenetik, lebih bermakna daripada pengertian harfiah kerja. Horja diartikan secara lahir dan batin. Aktivitas horja adalah aktivitas di mana sedang berlangsung suatu upacara pesta karena ada anugerah hidup. Perkawinan adalah horja, kelahiran anak adalah horja, membangun dan menempati rumah baru adalah horja, kerja gotong royong adalah horja. Seluruh tatanan Dalihan Na Tolu mengambil bagian dalam horja. Menyukseskan horja adalah hak sekaligus kewajiban. Bahkan warga masyarakat yang tidak diikut sertakan di dalam menyukseskan horja akan menuntut haknya untuk ikut, meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan. Namun pengorbanan dalam menyukseskan horja adalah pengorbanan yang tulus ikhlas (Harahap, 1987b:6). Jadi, peristiwa horja adalah peluang untuk berdakwah yang paling efektif.